Kaledo, Harta Karun Suku Kaili di Indonesia

2:03 AM

"Kaki Lembu Donggala", begitulah masyarakat awam mengartikan makanan khas suku Kaili di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah ini. Sesuai dengan julukannya, kaledo adalah sup tulang kaki sapi dengan kuah kaldu yang menyegarkan karena perpaduan rasa gurih, asam, dan sedikit pedasnya. Seperti yang telah saya sampaikan di postingan sebelumnya (klik disini untuk melihat postingan sebelumnya tentang kaledo), kaledo terdiri dari kaldu tulang kaki dan daging sapi yang dibumbui dengan sari asam jawa mentah, cabai, dan garam. Biasanya kaledo disantap bersama singkong atau pisang kukus. Di postingan kali ini, saya akan menjelaskan tentang sejarah dan budaya kaledoo! Yuk, disimak!

Kaledo. Sumber: Dokumen pribadi.

Filosofi Kaledo

"Kaledo" berasal dari bahasa Kaili, yaitu kata “Ka” yang artinya "tidak" dan “Ledo” yang artinya "keras". Makanan khas ini banyak dihidangkan oleh masyarakat Sulawesi Tengah pada saat hari-hari besar, seperti Lebaran atau Idul Fitri yang disajikan dengan Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang). 

Ada kisah bahwa dulu ada seorang suami dari suku Kaili yang telat datang mengambil potongan daging sapi sewaktu seorang dermawan membagi-bagikan potongan daging sapi; dan pria ini pun hanya mendapatkan bagian kakinya saja yang banyak tulangnya. Kemudian, sang suami pun membawa kaki sapi tersebut ke rumah untuk dijadikan suatu hidangan oleh istrinya. Saat sedang suaminya mencicipi masakan buatan istrinya, istrinya pun bertanya “Naka’a?” (keras), dan suaminya menjawab “Ledo” (tidak). Demikianlah tercipta nama makanan "kaledo" yang artinya "tidak keras".

Kepercayaan masyarakat Kaili tentang Kaledo

  1. Masyarakat suku kaili masih sangat percaya terhadap keberadaan jin/ setan. Dengan makan kaledo, masyarakat percaya bahwa mereka tidak akan diganggu oleh jin/ setan, karena jeruk nipis dan garam yang digunakan dalam pembuatan Kaledo dapat digunakan sebagai penangkal setan/jin.
  2. Kaledo yang dimasak menggunakan tungku khas Kaili (yang disebut sebagai talusi) akan terasa lebih lezat.
  3. Masyarakat kaili memiliki tradisi maya-nuose, yaitu menggantungkan nasi yang dibungkus dengan daun pisang pada keempat sudut tungku baru. Tradisi ini memiliki makna agar orang yang makan masakan dari tungku tersebut cepat merasa kenyang walau jumlah yang dimakan tidak terlalu banyak, sehingga dapat menghemat makanan.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

-

Flickr Images