Pada 24 Juli 2019, di Universitas Surya, Tangerang diadakan acara makan-makan bersama dalam rangka penutupan semester. Mahasiswa-mahasiswi Teknologi Pangan angkatan 2016 dan 2017 menghidangkan berbagai hidangan buatan mereka sendiri berupa makanan-makanan tradisional khas Indonesia dari berbagai wilayah Indonesia yang unik dan jarang orang dengar di wilayah lain hingga produk-produk makanan kering yang dibuat untuk bisnis skala industri rumah tangga. Para hadirin seperti orang tua mahasiswa, para dosen, staff universitas dan mahasiwa-mahasiswi sekalian dapat mencicipi masing-masing hidangan tersebut.
Ada nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya seperti sambal kentang, tempe orek, telur balado, bihun, sayur urap, dan ingkung ayam yang merupakan makanan khas Jawa. Ada lemang yang lengkap bersama dengan tapainya, sebagai makanan khas Melayu. Ada juga dihidangkan masakan ikan patin dalam bambu, yang cara memasaknya sama seperti lemang, yaitu memasukan bahan-bahan kedalam bambu lalu dibakar.
Tumpeng Jawa |
Ingkung Ayam |
Lemang |
Patin bakar dalam bambu |
Adapun dihidangkan arsik dan naniura yang keduanya merupakan hidangan ikan khas Batak. Keduanya sama-sama menggunakan banyak rempah-rempah, bumbunya hampir mirip, terutama kunyit. Bedanya, cara membuat arsik itu ikannya dikukus atau direbus, sementara naniura tidak diberi perlakuan pemanasan apapun. Naniura juga dibuat menggunakan asam jungga yang tidak dipakai dalam pembuatan arsik. Asam jungga dapat membunuh mikroba patogen yang tidak tahan terhadap asam. Rempah-rempah yang digunakan juga memiliki zat antimikroba yang dapat membunuh bakteri patogen pada ikan sehingga naniura aman untuk dikonsumsi.
Arsik (kiri) dan naniura (kanan) |
Turut pula disajikan papeda beserta ikan kuah kuningnya yang merupakan makanan khas Papua. Lalu ada juga sop Konro yang merupakan makanan khas Makassar, dan ada Kaledo yang merupakan makanan khas suku Kaili, khususnya di Palu dan Donggala. Kaledo dimakan bersama singkong dan perasan jeruk nipis.
Papeda dan ikan kuah kuning |
Sop konro |
Kaledo |
Sementara itu, produk-produk olahan industri rumah tangga yang dipamerkan adalah empal batokok, lempok durian (mirip dodol durian tetapi dibuat tanpa tepung), dan sambal lingkung (abon ikan). Dengan diadakannya acara ini, para hadirin tidak hanya dapat mencicipi makanan-makanan lezat khas Indonesia, melainkan juga dapat memperluas wawasan pengetahuan tentang makanan Indonesia dan turut serta melestarikan makanan-makanan khas Indonesia.
Sambal lingkung |
Nasi yang diberi empal batokok |
Lempok durian |
Foto bersama dosen dan para orang tua |
Ada 2 macam bentuk pengaruh budaya negara-negara lain terhadap suatu negara. Berdasarkan ruangguru.com, asimilasi adalah salah satu bentuk penerimaan atau penyesuaian masyarakat terhadap perubahan sosial atau budaya baru yang datang. Asimilasi menyebabkan ciri khas budaya asli hilang dan terbentuknya unsur budaya baru akibat berpadunya unsur-unsur budaya luar dengan unsur-unsur budaya lokal.
Seperti yang telah saya tulis di postingan sebelumnya, makanan-makanan yang ada di Indonesia saat ini juga tercipta karena adanya pengaruh dari bangsa-bangsa lain yang datang ke Nusantara. Sebagai contoh makanan hasil asimilasi budaya luar adalah rendang. Rendang memiliki ciri khas menggunakan banyak rempah-rempah seperti pada masakan-masakan India. Akan tetapi, rendang tidak berasal dari India, melainkan dari Padang, Sumatera Barat.
Sementara itu, akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih, atau proses berpengaruhnya budaya asing terhadap budaya lokal sehingga sebagian masyarakat lokal dapat menerima dan menerapkan budaya asing tersebut dan sebagian lagi menolak. Di dunia kuliner, akulturasi budaya dapat dilihat pada makanan-makanan seperti bakcang. Bakcang adalah makanan khas tradisional China. Akan tetapi karena banyaknya masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, maka bakcang pun menjadi makanan khas Indonesia juga dan tidak menjadi sesuatu makanan yang baru atau berbeda dari bakcang asli di China.
Jamba gadang adalah 1 paket makanan yang terdiri dari 1 mangkuk nasi yang ditutup daun, kemudian
diatasnya terdapat piring berisi lamang (biasanya disediakan lengkap bersama tapainya), galamai dan kalio daging yang juga
ditutup daun, kemudian disamping mangkuk nasi terdapat makanan pendamping
seperti 1 ekor ikan pindang atau pangek, 1 mangkuk gulai cubadak, perkedel,
pinyaram dan kue bolu. Semuanya disusun diatas talam dan ditutup dengan tudung
saji lalu ditutup lagi dengan dulamak
(kain dengan sulaman benang emas). Jamba ini dibawa setiap kali ada acara makan bajamba / makan bersama yang diadakan setiap perayaan besar, seperti tradisi mengunjungi rumah mertua, manjapuik marapulai, ataupun perayaan hari-hari raya agama Islam bagi masyarakat suku Minangkabau.
Membawa ataupun menghidangkan lemang saat mengunjungi rumah orang atau saat ada pesta / perayaan sudah menjadi kebiasaan masyarakat suku Minangkabau. Sebagai contoh, menantu yang membawa lemang untuk mertua pada saat kunjungan akan lebih dihargai. Hal ini disebabkan karena proses pembuatan lemang rumit. Persiapan untuk membuat lemang membutuhkan waktu yang lama dan melibatkan banyak orang dalam proses pembuatannya. Bila lemang tidak ada, biasanya akan dijadikan bahan omongan/ gosip oleh tamu yang dihidangkan sajian makanan/ tamu yang dikunjungi rumahnya.
Lemang rasanya asin dan gurih. Tetapi sangat membosankan bila dimakan tanpa lauk-pauk atau manisan. Tapai ketan hitam yang rasanya manis, asam, dan pahit dari alkohol cocok bila dimakan bersama lemang sehingga rasanya menjadi lengkap (ada manis, asin, asam, pahit, dan gurih). Dengan demikian, sebagian besar masyarakat Minang menganggap lemang tidak lengkap bila tidak dimakan bersama dengan tapai. Dengan demikianlah lemang biasa disajikan dengan tapai dan dikenal sebagai satu hidangan yang disebut lamang tapai.
Wanita yang membawa jamba diatas kepalanya. Sumber: wikipedia.org |
Lemang rasanya asin dan gurih. Tetapi sangat membosankan bila dimakan tanpa lauk-pauk atau manisan. Tapai ketan hitam yang rasanya manis, asam, dan pahit dari alkohol cocok bila dimakan bersama lemang sehingga rasanya menjadi lengkap (ada manis, asin, asam, pahit, dan gurih). Dengan demikian, sebagian besar masyarakat Minang menganggap lemang tidak lengkap bila tidak dimakan bersama dengan tapai. Dengan demikianlah lemang biasa disajikan dengan tapai dan dikenal sebagai satu hidangan yang disebut lamang tapai.
Budaya Makanan
Pengaruh Budaya Melayu, Tionghoa (China), India, dan Eropa di Indonesia Ditinjau dari Makanan Tradisionalnya
1:51 AM
Makanan-makanan khas yang ada di Indonesia saat ini, merupakan makanan-makanan yang diciptakan oleh berbagai suku dan ada juga yang menggunakan bahan-bahan yang tidak asli dari Indonesia ataupun dipengaruhi budaya masyarakat dari luar Indonesia.
Sebagai contoh, makanan-makanan di Aceh sangat dipengaruhi oleh bumbu-bumbu India, misalnya mie Aceh yang aromanya khas kari dan kopi Aceh yang teknik pembuatannya sama seperti di India. Asam sunthi, daun gegareng, dan temurui yang digunakan dalam masakan-masakan Aceh juga digunakan dalam masakan India.
Masakan di Riau, Bangka Belitung, dan Lampung banyak dipengaruhi oleh budaya China dilihat dari adanya makanan fermentasi seperti belacan. Belacan ini di Jawa disebut sebagai terasi karena pengaruh aksen Inggris. Ada perbedaan antara terasi Lampung dan terasi Bangka. Terasi Lampung cenderung lebih encer, sedangkan terasi Bangka cenderung lebih kering (padat seperti pasta).
Di Bangka Belitung, daratannya banyak pasir sehingga tumbuhan hampir habis dan banyak hewan seperti cacing wak-wak yang biasanya dikeringkan, lalu diasinkan dan dijadikan seperti mie. Sementara karena berada di daerah pesisir Pulau Sumatera, makanannya pun sebagian besar berbahan dasar hewan laut (seafood), misalnya bekasang dan rusip (ikan teri dimasukkan ke botol, dikasih garam dan terkadang ditambah cuka sedikit).
Ada 2 macam sub-suku Tionghoa yang ada di Indonesia, yaitu Hakka dan Hokkian. Masyarakat Tionghoa di Bangka, sebagian besar merupakan Tionghoa Hakka; sedangkan di Medan (Sumatera Utara), sebagian besar merupakan Tionghoa Hokkian. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan aksen dan dialek bahasanya. Makanan-makanan khas yang ada di Medan hingga saat ini merupakan hasil perpaduan budaya Melayu dan Tionghoa Hokkian, contoh chi cong fan, kwetiau, dan laksa.
Cara masak kopi Medan juga sama seperti kopi Aceh, yaitu bubuk kopi diseduh, disaring pakai saringan yang panjangnya seperti kaus kaki panjang dan ditampung, kemudian disaring dan ditampung di wadah lain dengan gerakan seperti akrobat (terkadang ada gosip kalau ditambah ganja karena rasanya bikin nagih).
Kecombrang / onje / rias yang banyak terdapat di daerah Medan, banyak juga terdapat di daerah Jawa Barat. Hidangan ikan di Jawa Barat kebanyakan menggunakan ikan darat/ ikan air tawar seperti Gurame, Mujair dan Nila yang dijadikan pepes memakai daun belinjo, daun kemangi, dsb.
Wilayah Betawi juga dulunya merupakan wilayah pelabuhan terkenal yang disebut sebagai Sunda Kelapa / Batavia, tempat perahu-perahu besar dari berbagai wilayah bersinggah. Makanan-makanan khas Betawi pun bumbunya sangat beraneka dan campur aduk karena merupakan hasil perpaduan budaya Tionghoa, Bugis/ Makassar, Sumatera, Melayu, dan Eropa. Misalnya, gado-gado, pecel, ketoprak, soto Betawi, sayur asem.
Di Banten, masakan-masakannya adalah khas suku Sunda, yaitu lalapan, pepes, dan sate Bandeng (ikan Bandeng diambil dagingnya, disuwir, dicampur tepung, dimasukkin lagi ke badan ikan terus ditusuk pakai bambu).
Sementara itu, di daerah Jawa Tengah hingga Jawa Timur, makanan-makanannya merupakan hasil perpaduan budaya makanan Tionghoa dan Arab dilihat dari jenis makanannya yang banyak sup dan soto daging. Misalnya di Cirebon ada empal gentong dan cumi kuah hitam. Di Kudus ada soto Kudus, dan di Semarang ada Lumpia Semarang.
Banyumas terkenal akan mendoan dan sroto sokka. Di Tegal dan Pekalongan, banyak soto yang disebut sauto.
Ada cerita mengenai asal usul lumpia Semarang. Dahulu kala ada seorang laki-laki pendatang dari daerah China yang membuat lumpia di Semarang. Akan tetapi, ternyata di Semarang sudah ada seorang wanita yang juga lihai membuat lumpia. Akhirnya sang pria dan wanita tersebut saling bersaing membuat lumpia di Semarang. Lama-lama sang pria dan wanita pun saling jatuh cinta, kemudian akhirnya menikah dan membuat lumpia bersama.
Di Solo (Surakarta) ada nasi liwet (kayak nasi campur China), sup-supan seperti tengkleng solo, gulai, dan timlo solo (mirip Chinese soup). Kemudian ada juga bestik Solo yang tercipta karena pengaruh bangsa Eropa.
Di Jogjakarta juga ada gudeg (perpaduan pengaruh berbagai suku), bakpia yang merupakan pengaruh dari kue Pia Tionghoa, Bakmi Jawa (mie pertama kali diciptakan oleh orang China), dan Buntil (petai Cina yang dicampur kelapa pakai beberapa jenis bambu, dibungkus daun, terkadang ada yang menambahkan telur agar menyatu, lalu dikukus).
Di Blora juga ada sate Blora, sate juga terdapat banyak di China dan Jepang. Sate Blora ini dagingnya besar-besar, ditusuk pakai bambu dan dimakan pakai kuah.
Di Surabaya (Jawa Timur) banyak rawon, soto Ambengan, petis, rujak cingur, kupang (kerang kecil). Di Madura ada Bubur Madura dan Sate Madura.
Bali terkenal akan bumbu Bali dan sambal Matah (pemakaian banyak rempah-rempah dalam masakannya dan banyaknya umat beragama Hindu menunjukkan pengaruh budaya India yang sangat kental). Lombok terkenal akan ayam Taliwang-nya. Tadinya ayam Taliwang dibuat oleh orang dari Sumba yang kemudian berpindah dan menetap di Lombok sehingga akhirnya ayam ini terkenal di Lombok.
Di Pontianak, Kalimantan Barat juga banyak masyarakat Tionghoa Hakka, contoh makanan yang dipengaruhi budaya Tionghoa ini adalah tau suan dan soto Banjar.
Kalimantan Timur (Samarinda, Balikpapan), terkenal akan kepiting-kepiting lunaknya, meski demikian, mereka tidak ada makanan khasnya. Orang Jakarta yang mampir kesini banyak membeli kepiting tersebut.
Sulawesi Selatan terkenal akan Es Palu Butung, Coto Makassar, dan Sop Konro. Maluku adalah wilayah pertama di Indonesia yang disinggahi bangsa Portugis untuk mencari buah pala. Belanda juga datang ke wilayah ini setelah bangsa Portugis untuk berebut buah pala.
Di Timor-Timur, banyak orang Sunda yang berjualan sate, masakan-masakannya mirip masakan Sunda.
Demikianlah dari macam-macam makanan yang disebutkan di setiap daerahnya menunjukkan budaya makanan di Indonesia mendapat pengaruh dari budaya makanan Melayu, Tionghoa (China), India, dan Eropa.
Kue Ang Ku - Kue khas China yang menjadi makanan tradisional di Indonesia. Sumber: vulcanpost.com |
Sebagai contoh, makanan-makanan di Aceh sangat dipengaruhi oleh bumbu-bumbu India, misalnya mie Aceh yang aromanya khas kari dan kopi Aceh yang teknik pembuatannya sama seperti di India. Asam sunthi, daun gegareng, dan temurui yang digunakan dalam masakan-masakan Aceh juga digunakan dalam masakan India.
Masakan di Riau, Bangka Belitung, dan Lampung banyak dipengaruhi oleh budaya China dilihat dari adanya makanan fermentasi seperti belacan. Belacan ini di Jawa disebut sebagai terasi karena pengaruh aksen Inggris. Ada perbedaan antara terasi Lampung dan terasi Bangka. Terasi Lampung cenderung lebih encer, sedangkan terasi Bangka cenderung lebih kering (padat seperti pasta).
Di Bangka Belitung, daratannya banyak pasir sehingga tumbuhan hampir habis dan banyak hewan seperti cacing wak-wak yang biasanya dikeringkan, lalu diasinkan dan dijadikan seperti mie. Sementara karena berada di daerah pesisir Pulau Sumatera, makanannya pun sebagian besar berbahan dasar hewan laut (seafood), misalnya bekasang dan rusip (ikan teri dimasukkan ke botol, dikasih garam dan terkadang ditambah cuka sedikit).
Ada 2 macam sub-suku Tionghoa yang ada di Indonesia, yaitu Hakka dan Hokkian. Masyarakat Tionghoa di Bangka, sebagian besar merupakan Tionghoa Hakka; sedangkan di Medan (Sumatera Utara), sebagian besar merupakan Tionghoa Hokkian. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan aksen dan dialek bahasanya. Makanan-makanan khas yang ada di Medan hingga saat ini merupakan hasil perpaduan budaya Melayu dan Tionghoa Hokkian, contoh chi cong fan, kwetiau, dan laksa.
Cara masak kopi Medan juga sama seperti kopi Aceh, yaitu bubuk kopi diseduh, disaring pakai saringan yang panjangnya seperti kaus kaki panjang dan ditampung, kemudian disaring dan ditampung di wadah lain dengan gerakan seperti akrobat (terkadang ada gosip kalau ditambah ganja karena rasanya bikin nagih).
Kecombrang / onje / rias yang banyak terdapat di daerah Medan, banyak juga terdapat di daerah Jawa Barat. Hidangan ikan di Jawa Barat kebanyakan menggunakan ikan darat/ ikan air tawar seperti Gurame, Mujair dan Nila yang dijadikan pepes memakai daun belinjo, daun kemangi, dsb.
Wilayah Betawi juga dulunya merupakan wilayah pelabuhan terkenal yang disebut sebagai Sunda Kelapa / Batavia, tempat perahu-perahu besar dari berbagai wilayah bersinggah. Makanan-makanan khas Betawi pun bumbunya sangat beraneka dan campur aduk karena merupakan hasil perpaduan budaya Tionghoa, Bugis/ Makassar, Sumatera, Melayu, dan Eropa. Misalnya, gado-gado, pecel, ketoprak, soto Betawi, sayur asem.
Di Banten, masakan-masakannya adalah khas suku Sunda, yaitu lalapan, pepes, dan sate Bandeng (ikan Bandeng diambil dagingnya, disuwir, dicampur tepung, dimasukkin lagi ke badan ikan terus ditusuk pakai bambu).
Sementara itu, di daerah Jawa Tengah hingga Jawa Timur, makanan-makanannya merupakan hasil perpaduan budaya makanan Tionghoa dan Arab dilihat dari jenis makanannya yang banyak sup dan soto daging. Misalnya di Cirebon ada empal gentong dan cumi kuah hitam. Di Kudus ada soto Kudus, dan di Semarang ada Lumpia Semarang.
Banyumas terkenal akan mendoan dan sroto sokka. Di Tegal dan Pekalongan, banyak soto yang disebut sauto.
Ada cerita mengenai asal usul lumpia Semarang. Dahulu kala ada seorang laki-laki pendatang dari daerah China yang membuat lumpia di Semarang. Akan tetapi, ternyata di Semarang sudah ada seorang wanita yang juga lihai membuat lumpia. Akhirnya sang pria dan wanita tersebut saling bersaing membuat lumpia di Semarang. Lama-lama sang pria dan wanita pun saling jatuh cinta, kemudian akhirnya menikah dan membuat lumpia bersama.
Di Solo (Surakarta) ada nasi liwet (kayak nasi campur China), sup-supan seperti tengkleng solo, gulai, dan timlo solo (mirip Chinese soup). Kemudian ada juga bestik Solo yang tercipta karena pengaruh bangsa Eropa.
Di Jogjakarta juga ada gudeg (perpaduan pengaruh berbagai suku), bakpia yang merupakan pengaruh dari kue Pia Tionghoa, Bakmi Jawa (mie pertama kali diciptakan oleh orang China), dan Buntil (petai Cina yang dicampur kelapa pakai beberapa jenis bambu, dibungkus daun, terkadang ada yang menambahkan telur agar menyatu, lalu dikukus).
Di Blora juga ada sate Blora, sate juga terdapat banyak di China dan Jepang. Sate Blora ini dagingnya besar-besar, ditusuk pakai bambu dan dimakan pakai kuah.
Di Surabaya (Jawa Timur) banyak rawon, soto Ambengan, petis, rujak cingur, kupang (kerang kecil). Di Madura ada Bubur Madura dan Sate Madura.
Bali terkenal akan bumbu Bali dan sambal Matah (pemakaian banyak rempah-rempah dalam masakannya dan banyaknya umat beragama Hindu menunjukkan pengaruh budaya India yang sangat kental). Lombok terkenal akan ayam Taliwang-nya. Tadinya ayam Taliwang dibuat oleh orang dari Sumba yang kemudian berpindah dan menetap di Lombok sehingga akhirnya ayam ini terkenal di Lombok.
Di Pontianak, Kalimantan Barat juga banyak masyarakat Tionghoa Hakka, contoh makanan yang dipengaruhi budaya Tionghoa ini adalah tau suan dan soto Banjar.
Kalimantan Timur (Samarinda, Balikpapan), terkenal akan kepiting-kepiting lunaknya, meski demikian, mereka tidak ada makanan khasnya. Orang Jakarta yang mampir kesini banyak membeli kepiting tersebut.
Sulawesi Selatan terkenal akan Es Palu Butung, Coto Makassar, dan Sop Konro. Maluku adalah wilayah pertama di Indonesia yang disinggahi bangsa Portugis untuk mencari buah pala. Belanda juga datang ke wilayah ini setelah bangsa Portugis untuk berebut buah pala.
Di Timor-Timur, banyak orang Sunda yang berjualan sate, masakan-masakannya mirip masakan Sunda.
Demikianlah dari macam-macam makanan yang disebutkan di setiap daerahnya menunjukkan budaya makanan di Indonesia mendapat pengaruh dari budaya makanan Melayu, Tionghoa (China), India, dan Eropa.
Ingkung ayam merupakan salah satu makanan yang hadir dalam berbagai upacara tradisional masyarakat Jawa bersama dengan tumpeng. Ingkung ayam ini biasanya disajikan sebagai sesaji. Sesaji dipersembahkan kepada Tuhan sebagai ucapan syukur sehingga selalu dihidangkan pada acara syukuran seperti acara untuk anak yang baru naik kelas atau perayaan adanya kelahiran.
Sebelum dimasak menjadi ingkung ayam, ayam dibersihkan dulu dari bulu-bulu dan jeroannya sebagai simbol bahwa manusia harus menyucikan diri dulu luar dan dalam dari sifat-sifat buruk. Kemudian, ayam terlebih dahulu diikat pada bagian kepala, sayap, dan kakinya sebagai simbol bahwa sifat buruk manusia harus diikat agar tidak kembali melakukan hal buruk. Selain itu, ayam diikat dengan posisi seperti sedang berdoa.
Ayam yang diikat menandakan manusia yang sudah dibersihkan dan sudah kembali suci harus duduk diam dan berdoa untuk mohon petunjuk dari Tuhan. Ayam yang sudah diikat akan terlihat seperti manusia yang sedang sholat karena bagian kepalanya menunduk. Posisi ayam ini diartikan sebagai manusia harus berserah diri pada Tuhan. Ingkung ayam juga dapat diartikan sebagai simbol untuk memohon kepada Gusti Allah supaya dijauhkan dari dosa dan kesalahan, serta menunjukkan sifat pasrah, berbakti dan tunduk kepada Gusti Allah.
Ingkung Goreng. Sumber: http://ingkungkuali.com |
Papeda adalah makanan khas Papua yang terbuat dari tepung sagu yang dicampur dengan air panas sehingga terbentuk suspensi yang lengket. Papeda biasanya dimakan bersama dengan ikan kuah kuning, yaitu ikan yang dimasak dengan sayuran dan kuah kuning yang memiliki rasa asam dan sedikit pedas. Cara menikmati papeda adalah dengan menggulung papeda lengket dengan sumpit atau gata-gata (garpu bambu) dan mencelupkannya ke dalam kuah ikan.
Ikan kuah kuning, papeda, dan gata-gata. Sumber: indonesiakaya.com |
Banyaknya pohon sagu di Papua menyebabkan papeda menjadi makanan pokok mereka. Bagi masyarakat pesisir, terutama Sentani, papeda dijadikan alat untuk berdamai. Papeda itu sendiri merupakan singkatan dari Papua Penuh Damai. Ketika ingin berdamai setelah terjadi pertikaian, biasanya dilakukan makan bersama. Dalam acara makan bersama tersebut, papeda disajikan dalam wadah besar sehingga semua orang yang hadir dapat menikmati papeda bersama-sama.
Papeda sering disajikan di berbagai upacara di Raja Ampat (ujung barat laut lempeng kepala burung di Papua Barat), misalnya Watani Kame dan pernikahan. Watani Kame adalah upacara untuk memperingati berakhirnya siklus kematian seseorang. Di upacara perkawinan, papeda dijadikan persembahan dari keluarga wanita. Papeda akan dikonsumsi oleh kedua mempelai sebagai simbol bahwa pernikahan mereka resmi. Mereka percaya bahwa sagu dalam papeda memiliki peran sebagai mediator antara bumi dan rakyatnya yang dapat memberikan kesuburan bagi seseorang.
Di Inanwatan, Papua, papeda dihidangkan pada upacara kelahiran anak pertama dan dihidangkan bersama dengan lauk sepert daging babi. Di Pulau Seram (Maluku), papeda dijadikan sebagai hidangan pada perayaan ritual suci pubertas perempuan oleh etnis nuaulu. Sementara bagi etnis hualu, wanita menstruasi yang memasak papeda dianggap tabu karena wanita menstruasi dianggap kotor.
Papeda sering disajikan di berbagai upacara di Raja Ampat (ujung barat laut lempeng kepala burung di Papua Barat), misalnya Watani Kame dan pernikahan. Watani Kame adalah upacara untuk memperingati berakhirnya siklus kematian seseorang. Di upacara perkawinan, papeda dijadikan persembahan dari keluarga wanita. Papeda akan dikonsumsi oleh kedua mempelai sebagai simbol bahwa pernikahan mereka resmi. Mereka percaya bahwa sagu dalam papeda memiliki peran sebagai mediator antara bumi dan rakyatnya yang dapat memberikan kesuburan bagi seseorang.
Di Inanwatan, Papua, papeda dihidangkan pada upacara kelahiran anak pertama dan dihidangkan bersama dengan lauk sepert daging babi. Di Pulau Seram (Maluku), papeda dijadikan sebagai hidangan pada perayaan ritual suci pubertas perempuan oleh etnis nuaulu. Sementara bagi etnis hualu, wanita menstruasi yang memasak papeda dianggap tabu karena wanita menstruasi dianggap kotor.
"Kaki Lembu Donggala", begitulah masyarakat awam mengartikan makanan khas suku Kaili di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah ini. Sesuai dengan julukannya, kaledo adalah sup tulang kaki sapi dengan kuah kaldu yang menyegarkan karena perpaduan rasa gurih, asam, dan sedikit pedasnya. Seperti yang telah saya sampaikan di postingan sebelumnya (klik disini untuk melihat postingan sebelumnya tentang kaledo), kaledo terdiri dari kaldu tulang kaki dan daging sapi yang dibumbui dengan sari asam jawa mentah, cabai, dan garam. Biasanya kaledo disantap bersama singkong atau pisang kukus. Di postingan kali ini, saya akan menjelaskan tentang sejarah dan budaya kaledoo! Yuk, disimak!
Kaledo. Sumber: Dokumen pribadi. |
Filosofi Kaledo
"Kaledo" berasal dari bahasa Kaili, yaitu kata “Ka” yang artinya "tidak" dan “Ledo” yang artinya "keras". Makanan khas ini banyak dihidangkan oleh masyarakat Sulawesi Tengah pada saat hari-hari besar, seperti Lebaran atau Idul Fitri yang disajikan dengan Burasa (nasi santan yang dibungkus daun pisang).
Ada kisah bahwa dulu ada seorang suami dari suku Kaili yang telat datang mengambil potongan daging sapi sewaktu seorang dermawan membagi-bagikan potongan daging sapi; dan pria ini pun hanya mendapatkan bagian kakinya saja yang banyak tulangnya. Kemudian, sang suami pun membawa kaki sapi tersebut ke rumah untuk dijadikan suatu hidangan oleh istrinya. Saat sedang suaminya mencicipi masakan buatan istrinya, istrinya pun bertanya “Naka’a?” (keras), dan suaminya menjawab “Ledo” (tidak). Demikianlah tercipta nama makanan "kaledo" yang artinya "tidak keras".
- Masyarakat suku kaili masih sangat percaya terhadap keberadaan jin/ setan. Dengan makan kaledo, masyarakat percaya bahwa mereka tidak akan diganggu oleh jin/ setan, karena jeruk nipis dan garam yang digunakan dalam pembuatan Kaledo dapat digunakan sebagai penangkal setan/jin.
- Kaledo yang dimasak menggunakan tungku khas Kaili (yang disebut sebagai talusi) akan terasa lebih lezat.
- Masyarakat kaili memiliki tradisi maya-nuose, yaitu menggantungkan nasi yang dibungkus dengan daun pisang pada keempat sudut tungku baru. Tradisi ini memiliki makna agar orang yang makan masakan dari tungku tersebut cepat merasa kenyang walau jumlah yang dimakan tidak terlalu banyak, sehingga dapat menghemat makanan.
Budaya Makanan
Asal Usul Kentang di Dunia: Makanan yang Berperan dalam Penciptaan Kehidupan Modern
9:00 AM
Kentang adalah umbi-umbian yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral essensial. Mungkin tidak jarang kita menegonsumsi kentang, dan kentang mudah sekali didapatkan di pasaran. Tapi tahukah kalian bahwa peradaban / kebudayaan manusia modern tidak akan ada tanpa kentang?
Berdasarkan Leo Bear - McGuinness pada tayangan video Ted Ed Youtube Channel "History through the eyes of potato", kentang pertama kali dibudidayakan 8000 tahun lalu oleh orang Peru di pegunungan Andes di Amerika Selatan. Kentang merupakan sumber energi yang sempurna untuk kaum-kaum buruh suku Inka disitu yang pekerjaannya adalah berladang, menambang di pegunungan Rocky, dan membangun peradaban dengan ilmu dan teknologi yang canggih sebagai Kerajaan Inca yang Agung.
Seorang pelaut berkebangsaan Spanyol adalah orang yang pertama kali membawa kentang ke Eropa saat kembali dari pegunungan Andes. Kentang dianggap sampah oleh orang Eropa karena mereka menganggap kentang bentuknya aneh, dekil dan rasanya hambar serta tanamannya mirip seperti tanaman Belladona yang merupakan tanaman yang menghasilkan buah beracun yang dipakai sebagai hiasan ataupun dimakan berrynya untuk hiburan (kurang lebih seperti narkotika, tetapi efeknya berbeda).
Butuh 200 tahun sebelum akhirnya kentang menjadi makanan pokok di seluruh wilayah Eropa meskipun kentang hanya dimakan oleh masyarakat yang kelas ekonominya rendah (miskin). Pada tahun 1750, berkat melimpahnya kentang di Eropa, petani tidak ikut mengalami kelaparan akibat rendahnya produksi gandum dan biji-bijian sehingga populasi mereka terus bertumbuh (pada saat itu bangsa Eropa dilanda Grain Famines). Alhasil, Kerajaan Jerman, Inggris dan Belanda terbentuk dari kelompok masyarakat yang populasinya terus bertambah, yaitu mereka yang tadinya merupakan petani, buruh, dan tentara. Hal ini membuat belahan Barat bumi menjadi tempat kekuasaan 3 kerajaan tersebut.
Tidak semua negara-negara di Eropa membentuk kerajaan. Mayarakat Irlandia populasinya meningkat drastis (dari 1 juta menjadi 8 juta orang) setelah mengadopsi kentang sebagai makanan pokok mereka sejak tahun 1590 sampai 1845. Akan tetapi, pada tahun 1845-1852, penyakit hawar kentang merusak sebagian besar tanaman kentang di Irlandia yang menyebabkan kelaparan masyarakat Irlandia (peristiwa ini disebut Irish Potato Famine, salah satu kelaparan paling mematikan di dunia). Sekitar 1 juta orang Irlandia meninggal akibat kelaparan dan 2 juta orang meninggalkan negara asalnya.
Budidaya tanaman kentang tidak berakhir disitu, pertumbuhan tanaman kentang pun pulih kembali dan populasi masyarakat Eropa meningkat di setiap tahunnya sejak tahun 1850-1910 yang dipicu oleh kedatangan imigran-imigran asal Irlandia di Eropa. Populasi di Eropa pun menjadi besar, makmur, dan terjaga (sustainable). Mereka mampu mengoperasikan pabrik-pabrik yang terus bermunculan saat itu yang mendorong terciptanya kehidupan modern saat ini dengan berbagai teknologi canggih melalui revolusi industri.
Jadi, tak bisa dibayangkan bila di dunia ini tidak ada kentang. Bila kentang tidak ada, bangsa Eropa dan para sekutunya mungkin sudah kalah waktu perang dunia ke-2.
Berikut ini cuplikan video yang saya rangkum di postingan ini:
Lemang disebut juga lamang oleh masyarakat Minang. Di Minangkabau, tidak jarang ditemukan malamang atau membuat lemang setiap perayaan-perayaan besar umat Islam. Hal ini pada awalnya disebabkan oleh seorang ulama terkenal di Pariaman, Sumatera Barat yang mengajak masyarakat untuk tidak lagi mengonsumsi makanan-makanan haram menurut ajaran Islam.
Dahulu kala ada seorang ulama yang berasal dari Pariaman yang berkunjung ke rumah-rumah orang untuk menyebarkan ajaran agama Islam bernama Syekh Burhanuddin. Saat beliau berkunjung ke rumah-rumah orang, ia seringkali disambut dengan jamuan hidangan haram seperti rendang tikus, gulai babi, dan ular goreng. Hal ini membuat Syekh mengajarkan cara membuat lemang sebagai makanan halal pada waktu berkunjung ke rumah orang-orang sehingga masyarakat tidak lagi memakai peralatan memasak yang telah digunakan untuk memasak makanan-makanan haram.
Syekh pun mengambil ruas bambu yang belum disentuh siapapun, memasukan beras dan air ke bagian dalamnya yang telah dilapisi dengan daun pisang agar tidak terkena serbuk bambu, lalu memasaknya dengan cara dibakar. Proses memasak ini pun ditiru oleh masyarakat sekitar dan menjadi kebiasaan orang Pariaman untuk membuatnya setiap perayaan-perayaan, khususnya perayaan hari besar umat Islam.
Rempah-rempah yang dipakai dalam masakan Indonesia. Sumber: indoindians.com |
Tidak hanya tanaman rempah-rempah banyak tumbuh di Indonesia, wilayah Indonesia juga merupakan wilayah yang strategis untuk didatangi oleh berbagai bangsa. Secara geografis, Indonesia terletak diantara 2 benua yaitu, Asia dan Australia serta 2 samudera, yaitu Hindia dan Pasifik. Hal ini membuat bangsa-bangsa dari berbagai wilayah seperti Eropa (Portugis, Inggris, Belanda, dan Spanyol), Arab, India, Cina dan Persia dahulu kala banyak berdatangan ke negeri ini dengan tujuan utama untuk memperoleh rempah-rempah.
Rempah-rempah itu diolah untuk menjadi bumbu masak dan obat-obatan. Bangsa-bangsa itu pun melakukan perdagangan, mengajarkan agama dan pertukaran budaya dengan masyarakat Indonesia. Tidak heran bila banyak kemiripan bahasa, jenis masakan dan teknik memasak di Indonesia dengan bangsa-bangsa tersebut. Lada, merica, cengkeh dan pala menjadi rempah-rempah yang paling banyak dicari di Indonesia. Berkat rempah-rempah tersebutlah, timbul keinginan bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai Indonesia.
Rempah yang paling banyak diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa waktu datang ke Indonesia adalah buah pala. Buah pala ini hanya dapat tumbuh dengan baik di Kepulauan Banda, Maluku. Karena buah ini terbukti berkhasiat dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti radang paru-paru, obat ini pun dijual mahal di Eropa. Pada tahun 1511, Alfonso de Albuquerque, seorang jenderal Portugis menyerang pulau-pulau di Maluku dan membangun benteng untuk memonopoli pala. Kemudian, pada tahun 1605, Belanda berhasil menyingkirkan Portugis yang telah menaklukan Ambon. Mereka pun mendirikan perusahaan dagang bernama VOC untuk memonopoli perdagangan pala dan bunga pala. Mereka memaksa warga untuk menjual pala hanya kepada VOC. Namun warga masih berusaha menjualnya kepada pedagang Jawa, Makassar, dan Inggris sehingga pertumpahan darah pun terjadi. Berikut ini adalah video penjelasan mengenai sejarah buah pala (nutmeg):
Hi readers! Di postingan kali ini, saya akan membahas tentang sejarah keju dan aneka ragam teknik pembuatannya di berbagai belahan dunia dari video karya Paul Kindstedt yang berjudul "A brie(f) history of cheese" di TED-Ed Youtube Channel.
Keju. Sumber: healthline.com |
Keju sudah ditemukan sejak kekaisaran dan kerajaan belum pernah terbentuk, teknik pembuatan pot dari tanah liat dan tulisan belum ditemukan, serta peralatan dan senjata dari logam belum ditemukan. Pada tahun 8000 SM, para petani zaman Neolitikum di wilayah yang disebut Fertile Crescent (wilayah berbentuk bulan sabit di Timur Tengah, yang mencakup Irak, Israel, Wilayah Palestina, Suriah, Lebanon, Mesir, dan Yordania modern serta bagian pinggir tenggara Turki dan bagian pinggir barat Iran) mulai meninggalkan warisan proses pembuatan keju hampir setua peradaban itu sendiri.
Berkembangnya tradisi bertani dan berternak, menimbulkan pemeliharaan sapi dan kambing untuk diambil susunya oleh para peternak purba. Sama halnya seperti makanan fermentasi pada umumnya, keju juga ditemukan akibat ketidaksengajaan. Suatu ketika seorang petani lupa menyimpan susu segar yang baru saja diperah dari sapi dan membiarkannya di lingkungan hangat dalam keadaan terbuka. Susu segar tersebut pun berubah menjadi asam dan bentuknya berupa gumpalan-gumpalan berwarna putih yang menggenang di cairan berwarna kuning. Hal ini terjadi akibat terbentuknya asam laktat yang merupakan hasil fermentasi susu oleh bakteri asam laktat yang terdapat di udara. Asam laktat yang terbentuk akan menyebabkan protein-protein terkoagulasi (menggumpal) membentuk gumpalan.
Petani yang melihat fenomena aneh tersebut pun memisahkan gumpalan-gumpalan dari cairan yang kita sebut "whey". Gumpalan tersebut dapat dimakan langsung atau dapat dioles ke makanan lain dan kemudian ditemukan bahwa gumpalan tersebut dapat dipres, disimpan bertahun-tahun, dan diturunkan menjadi beragam produk olahan susu. Penemuan keju membuat manusia Neolitikum dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi. Susu tinggi akan kandungan protein esensial, lemak, mineral, dan laktosa. Laktosa merupakan gula yang sulit dicerna oleh manusia Neolitikum maupun modern. Sementara itu, keju juga mengandung semua nutrisi yang terkandung dalam susu tetapi dengan laktosa yang lebih sedikit. Selain itu, keju yang dapat diawetkan dapat menjadi cadangan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat saat panceklik (musim kekurangan bahan pangan) dan musim dingin yang panjang.
Pada potongan-potongan gerabah (alat-alat dari tanah liat) yang berasal dari tahun milenium ke-7 SM yang ditemukan di Turki ditemukan tanda-tanda adanya sisa keju dan mentega didalamnya. Di akhir zaman perunggu, keju merupakan komoditas standar dalam perdagangan maritim di sepanjang Mediterania timur. Keju pun menjadi bahan pokok dalam kuliner dan upacara keagamaan di ibukota Mesopotamia yang penduduknya padat.
Beberapa karya tulisan paling awal yang isinya merupakan catatan persediaan keju menampilkan beberapa jenis keju untuk ritual dan kelompok masyarakat yang berbeda di seluruh Mesopotamia. Catatan mengenai peradaban di sekitar Turki juga menyebutkan soal enzim rennet. Enzim rennet adalah produk sampingan yang diproduksi dalam perut hewan mamalia tertentu yang dapat mempercepat dan mengendalikan koagulasi. Akhirnya, bahan pembuatan keju modern ini menyebar ke seluruh dunia menghasilkan beragam jenis keju baru yang lebih keras.
Budaya makanan zaman dahulu di wilayah lain tadinya menyebabkan masyarakat di wilayah lain menolak produk susu karena tidak suka. Akan tetapi, semakin lama semakin banyak orang yang menyukai keju dan menambah cita rasa menggunakan bahan-bahan lokal di wilayah mereka sendiri.
Bangsa Mongolia menjemur susu yak (lembu dari pegunungan Himalaya) untuk menghasilkan byaslag (keju yang keras). Bangsa Mesir membuat keju dari susu kambing dengan cara menyaring wheynya menggunakan tikar buluh (bambu). Di Asia Selatan, susu dikoagulasi dengan beragam asam dari bebagai makanan, seperti lemon, cuka, atau yogurt dan digantung hingga kering menjadi paneer (keju India). Keju dapat dijadikan komponen tambahan pada kari dan saus atau digoreng sebagai makanan vegetarian yang mudah dibuat.
Bangsa Yunani membuat keju feta asin yang berbentuk bata dan jenis-jenis lainnya yang mirip seperti keju pecorino saat ini. Keju ini dibuat di Sisilia dan digunakan pada masakan di seluruh Mediterania. Dibawah kekuasaan bangsa Romawi, keju kering atau caseus aridus menjadi ransum penting untuk hampir 500 ribu prajurit penjaga perbatasan Kerajaan Romawi yang luas. Ketika Kerajaan Romawi Barat runtuh, pembuatan keju terus berkembang di puri-puri yang menghiasi pedesaan Eropa abad pertengahan.
Di biara-biara Benediktin yang tersebar di seluruh Eropa, pendeta-pendeta era pertengahan terus bereksperimen dengan beragam jenis susu, praktik pembuatan keju, dan proses penyimpanan yang menghasilkan keju-keju populer saat ini, seperti parmesan, roquefort, munster, dan beberapa jenis keju Swiss. Pembuatan keju Swiss sangat sukses di Alpen, sehingga tercipta beragam jenis keju dari susu sapi. Di akhir abad ke-14, negara tetangga menginvasi Gruyere Swiss untuk mengambil alih perdagangan keju di Alpen yang sangat menguntungkan dan sukses.
Keju tetap populer selama masa Renaisans, dan revolusi industri mengalihkan produksi keju dari biara ke pabrik. Dengan demikianlah, seluruh dunia sekarang dapat memproduksi sekitar 22 miliar kg keju dalam setahun, dikirim dan dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh dunia.
Berikut ini adalah videonya;
Petani yang melihat fenomena aneh tersebut pun memisahkan gumpalan-gumpalan dari cairan yang kita sebut "whey". Gumpalan tersebut dapat dimakan langsung atau dapat dioles ke makanan lain dan kemudian ditemukan bahwa gumpalan tersebut dapat dipres, disimpan bertahun-tahun, dan diturunkan menjadi beragam produk olahan susu. Penemuan keju membuat manusia Neolitikum dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi. Susu tinggi akan kandungan protein esensial, lemak, mineral, dan laktosa. Laktosa merupakan gula yang sulit dicerna oleh manusia Neolitikum maupun modern. Sementara itu, keju juga mengandung semua nutrisi yang terkandung dalam susu tetapi dengan laktosa yang lebih sedikit. Selain itu, keju yang dapat diawetkan dapat menjadi cadangan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat saat panceklik (musim kekurangan bahan pangan) dan musim dingin yang panjang.
Pada potongan-potongan gerabah (alat-alat dari tanah liat) yang berasal dari tahun milenium ke-7 SM yang ditemukan di Turki ditemukan tanda-tanda adanya sisa keju dan mentega didalamnya. Di akhir zaman perunggu, keju merupakan komoditas standar dalam perdagangan maritim di sepanjang Mediterania timur. Keju pun menjadi bahan pokok dalam kuliner dan upacara keagamaan di ibukota Mesopotamia yang penduduknya padat.
Beberapa karya tulisan paling awal yang isinya merupakan catatan persediaan keju menampilkan beberapa jenis keju untuk ritual dan kelompok masyarakat yang berbeda di seluruh Mesopotamia. Catatan mengenai peradaban di sekitar Turki juga menyebutkan soal enzim rennet. Enzim rennet adalah produk sampingan yang diproduksi dalam perut hewan mamalia tertentu yang dapat mempercepat dan mengendalikan koagulasi. Akhirnya, bahan pembuatan keju modern ini menyebar ke seluruh dunia menghasilkan beragam jenis keju baru yang lebih keras.
Budaya makanan zaman dahulu di wilayah lain tadinya menyebabkan masyarakat di wilayah lain menolak produk susu karena tidak suka. Akan tetapi, semakin lama semakin banyak orang yang menyukai keju dan menambah cita rasa menggunakan bahan-bahan lokal di wilayah mereka sendiri.
Bangsa Mongolia menjemur susu yak (lembu dari pegunungan Himalaya) untuk menghasilkan byaslag (keju yang keras). Bangsa Mesir membuat keju dari susu kambing dengan cara menyaring wheynya menggunakan tikar buluh (bambu). Di Asia Selatan, susu dikoagulasi dengan beragam asam dari bebagai makanan, seperti lemon, cuka, atau yogurt dan digantung hingga kering menjadi paneer (keju India). Keju dapat dijadikan komponen tambahan pada kari dan saus atau digoreng sebagai makanan vegetarian yang mudah dibuat.
Bangsa Yunani membuat keju feta asin yang berbentuk bata dan jenis-jenis lainnya yang mirip seperti keju pecorino saat ini. Keju ini dibuat di Sisilia dan digunakan pada masakan di seluruh Mediterania. Dibawah kekuasaan bangsa Romawi, keju kering atau caseus aridus menjadi ransum penting untuk hampir 500 ribu prajurit penjaga perbatasan Kerajaan Romawi yang luas. Ketika Kerajaan Romawi Barat runtuh, pembuatan keju terus berkembang di puri-puri yang menghiasi pedesaan Eropa abad pertengahan.
Di biara-biara Benediktin yang tersebar di seluruh Eropa, pendeta-pendeta era pertengahan terus bereksperimen dengan beragam jenis susu, praktik pembuatan keju, dan proses penyimpanan yang menghasilkan keju-keju populer saat ini, seperti parmesan, roquefort, munster, dan beberapa jenis keju Swiss. Pembuatan keju Swiss sangat sukses di Alpen, sehingga tercipta beragam jenis keju dari susu sapi. Di akhir abad ke-14, negara tetangga menginvasi Gruyere Swiss untuk mengambil alih perdagangan keju di Alpen yang sangat menguntungkan dan sukses.
Keju tetap populer selama masa Renaisans, dan revolusi industri mengalihkan produksi keju dari biara ke pabrik. Dengan demikianlah, seluruh dunia sekarang dapat memproduksi sekitar 22 miliar kg keju dalam setahun, dikirim dan dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh dunia.
Berikut ini adalah videonya;
Lemang tapai dan tape uli adalah makanan khas di Indonesia yang sama-sama terbuat dari beras ketan putih yang disajikan dengan tapai ketan hitam. Lemang tapai lebih dikenal sebagai makanan khas Melayu dan Minang; sementara tape uli lebih dikenal sebagai makanan khas Betawi. Lemang terbuat dari beras ketan putih yang dimasak bersama santan (yang telah diberi garam) dalam bambu yang telah dilapisi gulungan daun pisang dengan cara dibakar. Sementara itu, uli dibuat dengan cara mengkukus beras ketan putih kemudian dicampur dengan kelapa parut dan garam, lalu dibungkus dengan daun pisang dan dikukus.
Untuk pembuatan tapai ketan hitam itu sendiri sama, yaitu beras ketan hitam dicuci dan direndam semalam lalu dikukus hingga setengah matang (kurang lebih 20-30 menit). Kemudian, beras ketan disiram air mendidih sambil diaduk hingga air menyerap. Selanjutnya, beras ketan hitam dikukus kembali hingga sedikit matang. Ketan hitam yang telah sedikit matang kemudian ditambahkan ragi setelah dingin (suhu ruang) dan dibungkus dengan daun pisang atau diletakkan dalam wadah tertutup lain seperti kontainer plastik. Terakhir, ketan hitam didiamkan selama 3 hari untuk proses fermentasi menjadi tapai. Tapai pun siap dikonsumsi setelah didiamkan 3 hari.
Untuk pembuatan tapai ketan hitam itu sendiri sama, yaitu beras ketan hitam dicuci dan direndam semalam lalu dikukus hingga setengah matang (kurang lebih 20-30 menit). Kemudian, beras ketan disiram air mendidih sambil diaduk hingga air menyerap. Selanjutnya, beras ketan hitam dikukus kembali hingga sedikit matang. Ketan hitam yang telah sedikit matang kemudian ditambahkan ragi setelah dingin (suhu ruang) dan dibungkus dengan daun pisang atau diletakkan dalam wadah tertutup lain seperti kontainer plastik. Terakhir, ketan hitam didiamkan selama 3 hari untuk proses fermentasi menjadi tapai. Tapai pun siap dikonsumsi setelah didiamkan 3 hari.
Lemang Tapai. Sumber: newsikal.com |
Tape Uli. Sumber: sajiansedap.grid.id |
Sejarah Penemuan Teh
Penemuan Teh Melati di Indonesia
Sumber: Dokumen PT. Gunung Slamat
Kaisar Shennong (Penemu teh). Sumber: http://www.china.org.cn |
Konon, teh ditemukan oleh Kaisar Shennong yang hidup sekitar tahun 2737 sebelum Masehi. Ketika sang Kaisar merebus air dibawah pohon, ada beberapa helai daun yang jatuh kedalam rebusan air tersebut akibat hembusan angin. Kemudian, sang Kaisar pun meminum air rebusan tersebut dan merasa bahwa air yang diminumnya lebih enak daripada air putih biasa dan badan menjadi lebih segar setelah meminumnya. Daun tersebut kemudian dikenal sebagai daun teh dan disebarluaskan melalui pertukaran kebudayaan dengan menelusuri Jalur Sutera pada masa Dinasti Han, Tang, Song dan Yuan. Adapun tanaman teh mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1686 sebagai tanaman hias oleh orang Belanda bernama Dr. Andreas Cleyer. Pada masa pemerintahan Gurbenur Van den Bosch tahun 1828 (penjajahan Belanda), tanaman teh menjadi salah satu tanaman yang harus ditanam oleh rakyat melalui politik tanam paksa (Cultuurstelsel).
Perkebunan teh di zaman penjajahan Belanda. Sumber: teanology.files.wordpress.com |
Penemuan Teh Melati di Indonesia
Dahulu, daun teh hasil tanam paksa di Indonesia yang berkualitas baik diambil oleh para penjajah dari Belanda dan diperdagangkan ke para bangsawan. Sementara daun teh yang hasilnya buruk diberikan kepada rakyat kecil. Agar rasa daun teh tetap enak untuk dinikmati, para rakyat pun mencari cara dan ditemukanlah bahwa penambahan bunga melati membuat teh menjadi nikmat rasanya. Dengan demikianlah teh melati menjadi sangat terkenal di Indonesia.
Proses pembuatan teh tubruk di PT. Gunung Slamat
1. Pengeringan
Daun teh yang dipanen langsung dikeringkan sebelum dibawa ke pabrik agar tidak keburu layu sebelum diproses. Sesampai di pabrik, teh dikeringkan lagi untuk membentuk warna dan aroma khas teh. Pengeringan dilakukan menggunakan suhu 100-120 oC selama 40-45 menit. Warna teh akan semakin baik semakin lama pengeringan, tetapi senyawa didalamnya juga semakin hilang.
2. Pembaceman
Pembaceman adalah proses dimana daun teh yang telah kering ditambahkan air untuk mengurangi reaksi eksoterm teh saat kontak dengan bunga pada proses pewangian, sehingga bunga tidak rusak dan kehilangan aromanya. Reaksi eksoterm adalah panas yang dihasilkan oleh suatu proses pemanasan sehingga panas berpindah dari sistem ke lingkungan.
3. Pewangian
Pada proses ini, bunga melati dan bunga gambir dicampurkan kedalam daun teh.
4. Pengeringan
Pengeringan setelah pewangian ini dilakukan untuk menghilangkan kadar air didalam teh.
5. Pengemasan
Pengemasan teh di PT. Gunung Slamat dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara tradisional dan modern. Pengemasan tradisional dilakukan untuk mengemas teh tubruk dengan cara nyontong dari bungkus berukuran kecil hingga berukuran besar dan mayoritas dilakukan oleh ibu-ibu. Sementara pengemasan modern dilakukan untuk membungkus teh celup menggunakan mesin dengan kecepatan 100 hingga 300 kantong per menit.
Spekkoek. Sumber: www.sbs.com.au |
Di era teknologi yang berkembang pesat saat ini, menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dan inovasi terhadap segala benda disekitarnya, ya, salah satunya adalah makanan. Munculnya inovasi-inovasi makanan baru tersebut seringkali membuat masyarakat lupa akan makanan-makanan tradisional yang ditemukan oleh nenek moyang sehingga menjadi hilang dan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Di saat yang bersamaan, persaingan bisnis kuliner juga semakin gencar dan kegiatan berwisata kuliner juga semakin banyak diminati oleh masyarakat. Makanan tradisional seringkali menjadi identitas suatu daerah yang unik sehingga menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk mengunjungi / berwisata ke suatu negara. Adapun makanan tradisional yang berada di suatu daerah / negara saat ini merupakan hasil dari campuran berbagai budaya dari negara-negara berbeda. Sebagai contoh, bakcang di Indonesia merupakan makanan yang berasal dari negeri China, kue lapis legit merupakan makanan hasil pengaruh dari budaya Belanda yang lebih dikenal sebagai "spekkoek" di Belanda, dan rendang tidak hanya dikenal sebagai makanan khas Minangkabau, Padang, Sumatera Barat tetapi seringkali juga dianggap sebagai makanan khas Malaysia. Oleh karena itu, penting bagi generasi-generasi muda untuk berpartisipasi dalam melestarikan makanan tradisional di Indonesia, baik dari sisi sejarah, budaya, proses pembuatannya, dan cita rasanya sehingga semakin banyak wisatawan kuliner yang ingin mengunjungi Indonesia untuk menjaja kulinernya dan dengan demikian dapat berkontribusi dalam peningkatan devisa negara.